Puisi Matroni Muserang

Oleh: Redaksi Tembi - 0 20 Facebook - Twitter - Pinterest - WhatsApp

Yang Berjalan dan Yang Berhenti

Bila kita datang pada malam
waktu berdetak paling dalam
matahari merobohkan dada
mata di tata untuk menemukan cahaya
bibir di sapa untuk berucap kebaikan

Kita pulang menemui cahaya
membawa kehausan dari negeri kebohongan
belajar menata debu-debu yang berserakan
lewat jalan kecil kuterus berjalan
belajar merobohkan tembok-tembok
yang menghalangi pandangan
melihat orang tuaku bekerja
melihat para petani yang dibohongi
aku belajar mengisi diriku dengan angka-angka kesunyian

Banjar Timur, 2019

Jendela

Biarkan langit tersenyum pada bumi
dan bunga-bunga bermekaran
biarkan iman dan harapan menjadi rumah menyejukkan
dan cinta tak lagi menjadi tanda tanya

Kita berjalan mengelilingi risau dan kesedihan
menaburkan makna-makna
berubah bahkan berhenti
dalam keadaan gemetar, penuh cahaya

Kita tak ingin hidup di danau beku
yang dikelilingi keping-keping ketakberdayaan

Dingin darah sudah memanas
baris-baris refleksi tak terpahami
tak menjadi putus asa
di tengah kelimpahan semesta

2019

Terpujilah Kesepian Para Penyair

Darah segar kepenyairan
kubawa menembus ruang dan waktu

Puisi, makluk sejenis apakah engkau?
wajahmu menelan ketakterbatasan
lantaran maha cantikmu
tembok-tembok tak kuasa menahan diri

Puisi, makluk sejenis apakah engkau?
walau abad-abad berlalu
waktu terus berkecamuk di luar cakrawala
daun berguguran, kota-kota berserakan, hidup tak karuan
puisi masih saja tersenyum dengan maha

Puisi, makluk sejenis apakah engkau?
penyair pun tertegun dan terkagum-kagum
apakah engkau sama dengan Tuhan
apakah engkau sama dengan al-qur’an
atau engkau bidadari yang tersesat di hutan

Puisi, makluk sejenis apakah engkau?
sufi pun tak kuasa menahan airmata
tak kuasa menahan kerinduan
tak kuasa menahan nafsu
engkau begitu lihai memainkan peran Tuhan
di tengah kesepian para penyair

Terpujilah kesepian para penyair
lantaran puisi berwajah maha
memiliki ruang maha
di antara syair orang-orang sufi

Konten Terkait: Planet Lament di Taman Ismail Marzuki Penampilan Perdana Sebelum Keliling Dunia

Terpujilah kesepian para penyair
kau naik ke puncak paling dingin
berdiam di burung mistik
merekam detak perjalanan paling kecil hingga paling besar
tak heran jika semesta kau rangkum di ruang kata-kata
dan puisi para pengembara

2019

Surat untuk Penyair

Berapa banyak kecantikan kau tanam dimataku
hingga kau menemukan kata-kata
menemukan banyak keistimewaan dalam dirimu
penyair lain kau anggap tak ada apa-apa

kau bacakan puisi di tengah kehausan
kami tak butuh kata-kata untuk menyelesaikan kekerasan
tapi kami butuh nilai yang terkandung di rahim puisi
menunggu penyair dan intelektual melahirkan
kesejukan dan kedamaian

Kitab apa yang kau baca
hingga dirimu merasa paling ada
di antara para penyair yang mengaku ada
apakah tak cukup jiwamu luka oleh keangkuhan

Jogja, 2019

Hikayat Padi

sebelum aku memberimu pupuk kandang
sebelum tahu dimana kau akan ditanam
dan siapa yang menanam

tanganku berasal dari nenek moyang
menjalar dari pintu angin yang santun
pintu dari segala cara, cara-cara tani
yang selalu aku ikut. Membentuk telapak sejarah
dengan darah yang dipertaruhkan

ke dalam pikiranku engkau ajarkan
mengulur jejak ilmu ke lubuk dada
menarik segala daya yang ingin kau sampaikan
semuanya membentuk budaya
sepasang keabadian, antara aku dan padi

dari tanganku engkau selalu hadir
sebelum memanen segala waktu
sebelum aku tahu kapan kau akan datang
menggenggam dan menemaniku

ke dalam lubuk tradisiku

2019

Matroni Muserang tinggal di Madura. Sambil menjadi dosen Filsafat di STKIP PGRI Sumenep, ia menulis di media lokal maupun media nasional. Puisi-puisinya tergabung dalam sejumlah antologi puisi bersama.