Air Mata Api, itulah tema yang diangkat oleh delapan keramikus yang memamerkan karya keramik mereka di Bentara Budaya Yogyakarta, 5-13 Juni 2018. Mereka adalah Dyah Retno Fitriani, Feros Alvansyah, Linda Nur Mastuti, Sidik Purnomo, Burhala, Apri Susanto, Nisaul Khaeroty, dan Diky Arif Prasetyo. Pilihan tema oleh delapan keramikus ini diambil dari material “kedua” dan “ketiga” dalam serangkaian proses pembuatan keramik, selain tanah. Air mesti hadir sebagai katalis dan api yang menghantarkan tanah menjadi keramik.
Sedangkan mata adalah perihal kecermatan, kepekaan, dan kejelian yang menghantarkan material menjadi medium, hal yang mengawal bagaimana proses penciptaan keramik. Ide yang kemudian menemu bentuk, konsep yang menemu konteks, selalu melibatkan hadirnya mata secara fisk (dalam pengamatan), berikut makna “mata” sebagai cara pandang atas material dan medium saat mendudukkan keramik dalam dimensi seni yang lebih luas.

Seni keramik hingga saat ini berada dalam dilema antara mendudukkannya dalam seni rupa kontemporer (contemporary art) dan kriya kontemporer (contemporary craft). Hal ini terjadi karena batasan antara art dan craft dalam praktik seni keramik memang sangatlah lunak. Selain itu, keramikus mampu bergerak ulang-alik dalam dua wilayah tersebut. Pada sisi-sisi tersebut keramikus selalu siap dengan segala konsekuensinya. Hal yang tidak bisa dipisahkan dari praktik di dunia keramik ini adalah pentingnya karakter personal dan pertaruhan estetik.

Keramikus muda yang terlibat dalam pameran ini menyadari bahwa seni keramik yang baik merupakan kesatuan antara fungsi, estetik, dan craftmanship. Perpaduan antara rasio, hati, dan keterampilan tangan. Para keramikus muda yang mengambil tantangan bahwa mereka tidak lagi dibatasi oleh warisan sejarah seni keramik, namun melihat beragam peluang yang bisa mereka masuki dalam medium ini. Oleh karena itu melihat perkembangan seni keramik dalam wacana medan seni rupa hari ini, ekspansi keramik dalam kebudayaan material kontemporer adalah nyata.

Hadirnya seni keramik dalam wujud patung ataupun instalasi, juga yang hadir dalam pameran ini menjadi suatu potret bagaimana para keramikus muda bercengkerama dengan karakter presentasi seni rupa kontemporer. Karya-karya yang menyingkirkan gagasan teknikal, condong pada eksperimentasi material dan perluasan medium keramik, menunjukkan intensi mereka atas proses dan upaya memahami paradigma seni rupa kontemporer.

Keterbukaan seni kontemporer yang anything goes tentu menerima praktik keramik ke dalamnya. Namun jika ditilik dan didalami benar, tidak mudah bagi seniman keramik untuk menjadi bagian dari medan seni rupa kontemporer. Tantangan ini tentu sangat kompleks mengingat batasan atau parameter seni kontemporer sampai sejauh ini sangatlah dinamis, atau boleh juga disebut cenderung labil.

Sekalipun demikian, bukan tidak mungkin dengan memulai menyuarakan perihal proses penciptaan, membicarakan hal-hal mendasar, seperti signifikansi material, eksperimentasi medium, dan performativitas karya menjadi satu alternatif yang memicu dialog-dialog kritis yang yang dapat diperluas pembahasannya pada aspek-aspek sosial, politik, dan budaya. Seperti yang selama ini dipercaya, seni kontemporer mempunyai visi penyadaran publik atas beragam persoalan melalui karya tangan para seniman. Pada kesadaran inilah pendekatan dan metode baru menjadi tantangan bagi para keramikus muda untuk memasuki medan seni kontemporer. Itulah nukilan kurasi dari Hendra Himawan atas pameran ini.
(*)