Revitalisasi Upacara Kalang Obong di Kotagede Yogyakarta

Oleh: A. Sartono - 0625 Facebook Twitter Pinterest WhatsApp

Masyarakat Kalang dikenal piawai dalam bidang-bidang perdagangan, kerajinan perak, kerajinan emas, kerajinan tembaga dan kuningan, kerajinan kayu, arsitektur bangunan kayu, dan lain-lain. Tidak aneh jika Kotagede Yogyakarta sebagai tempat atau asal-muasal masyarakat atau Wong Kalang kemudian dikenal identik dengan kerajinan perak. Sayangnya, ada salah satu hasil kebudayaan masyarakat Kalang yang saat ini hampir tidak pernah dilakukan lagi, yakni Upacara Kalang Obong. Menurut catatan antara tahun 1948-1960 hanya ada tiga kali penyelenggaraan upacara tersebut. Upacara Kalang Obong keempat dilakukan tanggal 27 Juli 1961 di Jatingarang, Gunung Kidul.

Dalam rangka itulah Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menyelenggarakan penerbitan buku saku yang berjudul Upacara Kalang Obong. Selain itu, lembaga ini juga menyelenggarakan Revitalisasi Upacara Kalang Obong yang dikemas secara teatrikal, yang dilaksanakan di Pendapa Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Jl. Kemasan, Kotagede, Yogyakarta, Minggu malam, 10 Desember 2017. Acara teatrikal dilakukan oleh Teater ESSEM (Eks SMEA II) pimpinan Toelis Semero.

Kerja sama Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta dengan Teater ESSEM tidak lain adalah sebagai upaya untuk menggali, mengangkat, mengenalkan, dan menjalin kembali nilai-nilai budaya yang bersumber dari masyarakat Kalang. Dengan demikian diharapkan nilai-nilai budaya dan sikap toleransi terhadap keberagaman semakin menguat dan lestari.

Revitalisasi dengan cara teatrikal diawali dengan keluarga Madura yang bercerita tentang Yogyakarta sebagai miniaturnya Indonesia. Semua orang dengan berbagai latar suku, agama, ras, adat, tradisi dan lain-lain ada di Yogyakarta. Mereka tidak mungkin dapat hidup bersama dengan rukun jika tidak saling toleran. Di Yogyakarta juga tinggal Wong Kalang, yakni di Kotagede yang dulu merupakan keturunan orang Bali-Jawa yang dipekerjakan sebagai ahli ukir-ukiran di Kerajaan Mataram Kotagede.

Wong Kalang atau masyarakat Kalang memiliki tradisi Upacara Kalang Obong. Upacara ini berkaitan dengan ritual bagi orang meninggal. Jika orang Kalang meninggal maka setelah pemakamannya akan diadakan Upacara Ngesur Tanah. Upacara Kenduri yang akan mengikuti sesudahnya seperti kebiasaan pada masyarakat Islam Jawa akan dilakukan pada hari ketiga, tujuh, empat puluh, dan seterusnya dan ditutup dengan upacara besar-besaran pada hitungan 1.000 (seribu) hari setelah kematian. Upacara Kalang Obong dilaksanakan pada peringatan 1.000 hari tersebut.

Konten Terkait: Pawai Jalanan Pembuka Festival Kesenian Yogyakarta Ke-28

Upacara Kalang Obong membutuhkan kepanitiaan yang besar dan melibatkan seluruh anggota keluarga. Semua orang Kalang dewasa terlibat dalam upacara itu, baik mereka yang sudah menikah maupun belum. Diperlukan empat kelompok sesajen dalam upacara ini, yakni sajen dari tanaman dan buah-buahan, sesaji makanan dan barang-barang terkait, pakaian-peralatan sehari-hari-dan sejenisnya, dan hewan. Setelah semuanya siap kemudian diadakan serangkaian upacara yang pada puncaknya adalah Ritual Pembakaran.

Pada ritual pembakaran ini benda pokok yang dibakar adalah Puspa. Puspa adalah cerminan dari arwah orang yang meninggal. Puspa diletakkan di atas bantal oleh Biku (dukun) Kalang Obong. Puspa di atas bantal ini ditempatkan pada rumah-rumahan atau gubuk-gubukan yang terbuat dari bambu dan atap rumbia (biasa dinamakan Pancaka). Di samping Puspa juga diletakkan baju lama dari orang yang meninggal, tongkat (teken), kendi air, alat makan, kelapa muda yang sudah dibuka, dua kendi dengan beras, satu telur, sejumlah uang receh. Di bawah gubuk ditempatkan mangkuk dengan Sekul Sewu dan bunga-bungaan. Empat kembar mayang ditempatkan di keempat tiang Pancaka. Biku atau dukun kemudian berjongkok di depan sisi terbuka dari gubuk/Pancaka dan di sekelilingnya adalah para anggota keluarga dari orang yang meninggal.

Setelah Biku/dukun mendoakan doa-doa tertentu gubuk/Pancaka tempat beradanya Puspa dan ubarampe kemudian dibakar. Abu dari pembakaran ini dilarung di sungai dengan suatu harapan jiwa orang yang meninggal kembali ke semesta, ke alam keabadian. (*)