Langen Mandra Wanara, Tari Rakyat yang Diciptakan dari Dalam Istana

Langen Mandra Wanara memiliki posisi tersendiri dalam dunia tari klasik Yogyakarta. Tari ini lahir pada sekitar tahun 1980. Pada masa itu kesenian kraton tidak boleh dipentaskan di luar kraton, begitu pula kesenian di luar kraton tidak boleh meniru kesenian kraton.

Tersebutlah KPH Yudonegoro III, menantu Sultan Hamengku Buwono VII, yang menggandrungi kesenian tari, ingin agar kesenian Kraton bisa ditonton oleh masyarakat umum. Namun karena ada pembatasan itu, ia menciptakan kesenian Srandul. Kesenian yang mengambil Serat Menak ini masih hidup hingga kini. Namun KPH Yudonegoro II, ayah KPH Yudonegoro III, kurang berkenan jika putranya hanya berkecimpung dalam kesenian rakyat. Maka ia meminta putranya untuk menggarap kesenian bercorak garapan kraton yang mengambil cerita dari Ramayana.

Maka KPH Yudonegoro III menciptakan Langen Mandra Wanara. Karya ini menggunakan konsep dan pola Langendriya, yakni tari yang menggunakan tembang. Sedangkan posisi menarinya jongkok, yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai joged jengkeng.

Sambutan masyarakat di luar tembok kraton sangat positif. Bahkan pada saat latihan, masyarakat membanjiri halaman Yudonegaran untuk menyaksikan. Pada saat pementasan, penontonnya lebih banyak lagi.

Setelah KPH Yudonegoro III diangkat menjadi patih dengan gelar KPAA Danurejo VII, pementasan dipindahkan ke bangsal Kepatihan, yang tetap mengundang banyak penonton. Bahkan perkembangan semakin pesat. Dengan kualitas yang baik dan tontonan menarik, maka Mandra Wanara menjadi sangat populer pada masa itu. Bukan hanya gerak tarinya yang memikat tetapi juga tembang-tembangnya meresap di hati. Tahun 1900-1933 menjadi masa keemasan kesenian ini.

Namun setelah Yudonegoro wafat pada tahun 1933, pentas Langen Mandra Wanara menurun drastis, nyaris tidak ada lagi. Salah satunya karena pementasan ini membutuhkan biaya sangat besar. Pada perkembangannya, Langen Mandra Wanara meski dipentaskan kembali namun tidak semegah dan selengkap pada masa Yudonegoro.

Konten Terkait: Tebah-Tebah Tradisi Yang Dilupakan

Bangsal Kepatihan pun menjadi tempat dipentaskannya Langen Mandra Wanara gaya baru pada 7 Juli 1962, yang dihadiri oleh Menteri P dan K Prof Dr Prijono dan Sri Paku Alam VIII. Ini merupakan babak baru Langen Mandra Wanara dengan perubahan antara lain dari tari jongkok menjadi tari berdiri, serta peringkasan percakapan dan kandha, penghapusan senggakan waranggana, gerongan baru pada gendhing selaras dengan pengadeganan.

Pada 11 Agustus lalu, Kepatihan kembali menjadi saksi atas masih hidupnya Langen Mandra Wanara. Di Pendapa Wiyata Praja, Kelompok Irama Tjitra menggelar pentas Langen Mandra Wanara dengan lakon ‘Jamadagni Mukswa’, yang dipenuhi penonton.

Irama Tjitra juga saksi sejarah yang penting dalam perkembangan kesenian tari, khususnya wayang orang. Diawali dengan keprihatinan atas kehidupan kesenian Jawa pada masa revolusi 1946, sejumlah penggemar kesenian Jawa lantas menyelenggarakan pentas massal wayang orang dengan lakon Calon Arang, yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat dan dibantu Sultan Hamengku Buwono IX. Lalu dibentuk badan persiapan untuk membentuk organisasi yang menghimpun tenaga-tenaga potensial yang dapat memberikan pelajaran kesenian Jawa. Pada 25 Desember 1949 lahirlah Irama Tjitra. Selanjutnya Irama Tjitra secara teratur mementaskan berbagai pementasan tari. (*)

Sumber: 1) ‘Langen Mandra Wanara: Sebuah Opera Jawa’ (Ben Suharto, N Supardjan, Rojomulyo), 2) Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta terbitan Dewan Kesenian Provinsi DIY