Obor dan Dupa dalam Puisi di Tembi

Oleh: Ons Untoro - 0419 Facebook Twitter Pinterest WhatsApp

Agustina Thamrin, penyair dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan, tampil membaca puisi dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi ke-70 di Tembi Rumah Budaya, Sabtu 8 Juli 2017 dengan membawa obor dan dupa. Wangi dupa yang diletakkan di dekat dia duduk dan obor yang ditaruh di sampingnya menjadi propeti dari pertunjukannya.

Sambil duduk di lantai dia mengalunkan mantra, seolah sedang menyampaikan pujaan, dengan diiringi musik khas dari Kalimantan, Agustina seolah seperti sedang di kampung halamannya, bukan di Amphytheater Tembi Rumah Budaya, tempat Sastra Bulan Purnama diselenggarakan. Selesai membaca mantra, dia berdiri dan mengambil obor sambil terus membacakan puisi berjudul ‘Concerto Balai Bilaran’ karya Burhanudin Soebely.

Agustina Thamrin adalah salah satu dari 174 penyair Nusantara yang puisinya dimuat dalam antologi puisi ‘Negeri Awan’. Tentu Agustina tidak sendiri, ada beberapa penyair lain yang puisinya ada dalam antologi puisi ‘Negeri Awan’ ikut hadir dalam acara Sastra Bulan Purnama yang diberi tajuk ‘Syawalan Sastra (wan) di Negeri Awan’.

Beberapa nama tampil membaca puisi, Bambang Eka, Joshua Igho (Magelang), Suyitno Ethex (Mojokerto) SP, Budi (Bogor), Rismudji (Tambun, Bekasi) dan beberapa penyair dari Yogyakarta diantaranya Sutirman Eka Ardhana, Ratu Zaenab.

Suyitno Ethex, yang sudah beberapa kali datang ke Tembi Rumah Budaya dan membacakan puisi-puisi karyaya. Pada SBP edisi ke-70, dia hanya membacakan satu puisi karyanya. “Saya membaca satu saja, supaya penyair lainnya juga ada kesempatan membaca,” kata Suyitno.

Biasanya, dari Mojekrto menuju Tembi sebelum pukul 6 sore Suyitno Ethex sudah sampai di Tembi, dan nongkrong di angkringan sambil menikmati kopi. Tapi pada perjalanan kali ini, dia agak terlambat karena jalan darat macet panjang, sehingga sampai di Tembi dan langsung di Amphytheater Tembi Rumah Budaya sudah malam, meskipun acara belum dimulai.

Konten Terkait: Tubuka: Kenali Tubuh Diri Sendiri Melalui Musik Kontemporer

Zaenab Ratu, yang mengenakan kemeja warna merah, adalah penyair paling muda di antara penyair yang puisinya masuk dalam antologi puisi ‘Negeri Awan’. Dia dilahirkan tahun 2000, sehingga usia dia baru 17 tahun. Dia membacakan dua puisi karyanya.

Selain para penyair yang membacakan puisi karyanya, ada beberapa pembaca puisi, yang ikut tampil membacakan puisi penyair yang tidak hadir. Para pembaca puisi ini memiliki profesi berbeda-beda, tetapi mempunyai kecintaan terhadap puisi. Dadang Koesdarto, seorang desainer Yogya, membacakan dua puisi, Zanita Nita seorang pegawai negeri sipil di Pemda Bantul, dan Yudah Prakosa, seorang jurnalis televisi. Selain itu, tampil juga membaca puisi Bambang ‘Bhe’ Susilo, Dyah Kencono Wungu dan Ninuk Retno Raras.

Karena masih dalam suasana syawal, maka SBP kali ini sekaligus untuk syawalan antara para hadirin yang hadir, yang sudah saling mengenal sekaligus saling salaman dan saling meminta maaf, yang belum saling kenal, saling memperkenalkan diri sekaligus saling mengucapkan maaf lahir batin.

Kepada semua hadirin, dan komunitas Sastra Bulan Purnama, penyelenggara Sastra Bulan Purnama menyampaikan salam lebaran dan mengucapkan maaf lahir batin, mungkin sengaja atau tidak, Sastra Bulan Purnama mengecewakan hati para hadirin dan semua komunitas SBP, yang selama ini aktif mengikuti acara Sastra Bulan Purnama.

Melalui puisi, saling memaafkan di antara yang hadir terasa indah dan puitis. (*)