Kemiskinan Ala Kadarnya dalam Film Mistik Garin Nugroho

Oleh: Ervin Kumbang - 0 148 Share ke Facebook Tweet on Twitter

Apa yang membedakan Garin Nugroho dari kebanyakan sutradara di industri film Indonesia? Film terbaru Garin,Setan Jawa, adalah jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan ini.

Setan Jawa adalah film produksi 2016 yang disiarkan perdana di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 3-4 November 2016, dengan harga tiket yang jauh di atas rata-rata bioskop 21. Dan memang, sejak awal film ini tak disiapkan untuk dikonsumsi secara massal sebagaimana film di bioskop pada umumnya.

Di film ini, Garin menegaskan posisinya sebagai “avant-gardian” dengan membuat film bisu. Ya, Setan Jawa, adalah sebuah film bisu hitam-putih zaman baru yang pemutarannya menggunakan metode manual: musik yang dimainkan secaralive. Dan musik film ini, sebagaimana judulnya, adalah orkestra gamelan Jawa.

“Ini adalah film bisu pertama di dunia yang diiringi gamelan Jawa,” kata Garin.

Film ini berkisah tentang seorang pemuda miskin bernama Setio (Heru Purwanto) yang jatuh cinta pada seorang gadis keturunan bangsawan, Asih (Asmara Abigail). Kemiskinan Setio merupakan penguat latar film ini, yakni Jawa pada awal abad ke-20 di mana kemiskinan meruyak sebagai akibat kolonialisme Belanda yang sedang mencapai puncaknya.

Pertemuan Setio dan Asih terjadi ketika Setio sedang berdagang tikar dan sapu lidi di pasar. Asih, yang sedang berjalan-jalan diiringi pengawalnya, menjatuhkan tusuk konde yang ditemukan oleh Setio. Karena terpesona dengan kecantikan Asih, Setio memberanikan diri melamar perempuan pujaannya itu.

Konflik kelas mencuat dalam kisah ini ketika ibu dan nenek Asih menolak lamaran Setio. Adegan penolakan ini disimbolkan dengan penusukan tusuk konde Asih yang dikembalikan Setio oleh ibu Asih ke tangan Setio. Ibu dan nenek Asih mengusir Setio dengan menghunjamkan kemiskinannya sebagai alasan terbesar.

Pengusiran itu membawa Setio ke sebuah candi di mana dia melakukan pesugihan untuk mendapat kekayaan. Dalam masyarakat Jawa, ritual ini disebut dengan “Pesugihan Kandang Bubrah.”

Kisah berlanjut dengan Setio yang menjadi kaya dan berhasil mempersunting Asih. Namun, adegan ini terasa seperti sangat menyederhanakan konflik awal yang digunakan Garin dalam film ini: konflik kelas.

Dengan mengingat betapa kasta priyayi sangat berjarak dengan masyarakat jelata di masa kolonialisme, terlalu singkat menggambarkan keberanian seorang pemuda miskin meminang seorang gadis bangsawan. Konflik kelas di sini diabaikan dan semata-mata dijadikan sebagai “lubang” untuk membuat alasan Setio melakukan pesugihan menjadi masuk akal.

Ini adalah risiko ketika menggunakan konflik kelas sebagai alasan untuk membangun jalinan cerita. Bagaimanapun, eksplorasi konflik kelas ini akan menuntut banyak meski yang ingin dikisahkan adalah sebuah ritual mistis. Dalam Setan Jawa, Garin mengabaikan kerumitan konflik kelas dan memaksa konflik tersebut untuk menjadi “bumbu kecil” untuk kisah mistisnya.

Penyebabnya mungkin adalah karena Setan Jawa adalah film yang penuh simbol. Hampir sebagian besar film ini dipenuhi dengan gerakan tarian, seperti menonton sendratari yang dipindahkan ke layar film. Penonton diajak dan dipaksa untuk menerima tarian tersebut sebagai simbol tanpa harus mengetahui relevansinya dengan adegan yang bersangkutan. Film ini adalah film yang berat dan memang tak bertujuan untuk mendapatkan perhatian komersial.

Hal lain adalah orkestra gamelan Jawa yang mengiringinya berperan besar sebagai musik latar. Tembang berbahasa Jawa yang dinyanyikan oleh penyanyi perempuan dalam orkestrasi pimpinan komposer Rahayu Supanggah, sulit dipahami oleh penonton yang tidak akrab dengan bahasa dan literasi Jawa.

Mitos dan mistis, sebagaimana yang dikatakan oleh Garin, adalah hal yang lekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Namun, dalam interpretasi bebas, mistik yang menggambarkan pesugihan sebagai jalan keluar seorang pemuda miskin untuk menjadi kaya, adalah ekspresi alam bawah-sadar yang menganggap kemiskinan adalah keputusasaan. Film ini tidak mengajak orang miskin untuk berjuang, justru menunjukkan kelemahan mereka karena memilih cara instan untuk menjadi makmur. (***)

TINGGALKAN KOMENTARBatal membalas