Makan yuk..!

Soto Blitar yang "Djiancuk"

Soto Blitar yang "Djiancuk"

Nama warungnya cukup mengejutkan: “Djiancuk”. Ditulis dalam kombinasi ejaan lama dan baru. Diembel-embeli “Soto Khas Jawa Timur”, nama warung ini mengingatkan pada umpatan khas orang Jawa Timur, ‘jancuk’, yang jika disangatkan lantas menjadi ‘jiancuk’. Namun umpatan ini bagi orang yang telah saling kenal atau dekat justru merupakan ekspresi keakraban. Menurut pemiliknya, Parjinah (45 tahun), nama ini dipilih Widodo, suaminya yang asal Blitar, memang sebagai ekspresi keakraban. Yang jelas, sebagai ‘shocking word’, pemilihan nama ini memang gampang menancap dalam ingatan.

Warung ini, kata Parjinah, menyediakan soto khas Blitar, sesuai kampung halaman Widodo. Menurut perempuan asal Jogja ini, resep sotonya diperoleh dari nenek Widodo. Ibu Widodo sendiri juga membuka warung serupa di Nganjuk. Soto Blitar memang sama dengan soto Nganjuk dan soto Kediri namun berbeda dengan soto Jawa Timur lainnya seperti soto Lamongan atau soto Ambengan.

Soto Blitar yang "Djiancuk"

Soto Blitar yang disajikan di warung ‘Djiancuk’ kuahnya berwarna gelap, berbeda dengan kuah soto Lamongan yang bening. Maklum saja ada banyak bumbu yang diracik di dalam kuahnya. Misalnya saja ketumbar, kemiri, kunyit, sereh, bawang merah dan bawang putih. Ketumbar dan kemiri menguatkan rasa gurihnya. Masih ditambah gurihnya santan yang kentalnya sedang. Dipadu dengan capar atau toge mentah yang segar, irisan tipis kentang goreng dan irisan telur ayam rebus, plus potongan daging sapi, komplitlah sudah. Apalagi jika dibubuhi sambal dan kucuran jeruk nipis, tambah mantaplah. Rasa pedas merica juga kuat menyengat. Kalau orang bilang, keseluruhan rasa sotonya ‘menggigit’.

Parjinah menyiapkan sotonya di sebuah rombong (pikulan) ala tanduk sapi. Wadah-wadah berisi kentang goreng, bawang goreng, capar, dan seledri disusun berjejer. Di sisinya sebuah panci besar berisi kuah racikan bumbu yang disiapkannya sejak jam 3 pagi. Ketika Parjinah menuangkan botol kecap terdengar bunyi ‘klinting-klinting’ yang berasal dari lonceng kecil di leher botol.

Soto Blitar yang "Djiancuk"

Soto dihidangkan dalam mangkuk kecil seperti takaran porsi soto Kudus. Hmm..gurih dan segar. Disantap panas-panas dengan sengatan merica dan imbuhan sambal, bisa-bisa keluar komentar, “jiancuk..rasane uenak tenan.” Keringat ikut menetes. Untuk menemani disediakan pula sate ayam, sate keong, rambak dan krupuk. Harga seporsi soto cukup terjangkau yakni Rp 8.000.

Interior warung ini juga khas. Meja bundar, yang lebih mirip sebuah rol kayu besar, berdiameter sekitar 1,5 meter ditempatkan di tengah ruangan. Bagi yang ingin lesehan, ada lincak kayu di sisi kiri dan kanan ruangan. Hiasan gerabah berbentuk sepatu dan botol melengkapi aksesoris ruang. Dipajang pula foto-foto Soekarno, presiden pertama yang dimakamkan di Blitar. Tak ketinggalan poster pameran lukisan Widodo ikut dipajang.

Soto Blitar yang "Djiancuk"

Widodo memang seorang pelukis. Lelaki kelahiran tahun 1965 ini adalah jebolan pascasarjana ISI Yogyakarta. Dulu, kata Parjinah, lukisan-lukisan suaminya dipajang di dinding warung tapi sekarang semuanya sudah laku terjual. Lukisan-lukisannya kini ditaruh di ruang belakang. Calon pembelinya yang kebanyakan orang asing, menurut Parjinah, masih sering datang. Para penikmat sotonya juga banyak dari kalangan seniman dan dosen ISI Yogyakarta. Jadi selain kuliner, atmosfir seni rupa juga ikut mewarnai warung ini. Anak sulung Widodo juga tengah mengambil jurusan lukis di ISI yang kini menginjak semester keempat.

Warung yang didirikan pada tahun 2000 ini lokasinya di Sonopakis, bersebelahan dengan Kali Bayem. Ancer-ancernya kalau dari jalan Patangpuluhan terus ke barat, melewati Universitas PGRI, sampai jalan menurun di dekat Kali Bayem. Jika ada mobil-mobil tua berderet di sisi kiri jalan berarti Anda sudah sampai di tujuan. Ada teras tempat lesehan di dekat pohon talok. Secara keseluruhan, kesan agak kumuh dari warung ini memang tak terhindarkan tapi sekaligus juga mengesankan kebersahajaan.

Warung soto, seperti juga warung mi ayam, cukup dominan di Jogja. Tapi warung soto khas Jawa Timur jarang ditemui. Apalagi soto Blitar seperti soto Djiancuk ini mungkin masih satu-satunya di Jogja.

Soto Blitar yang "Djiancuk"

Makan yuk..!

barata