Djogdja Tempo
Doeloe
Prajurit Mataram Sekitar Abad 17-19
Berikut ini adalah gambar
atau lukisan sosok prajurit Mataram. Tidak diketahui periode Mataram
yang manakah yang dimaksudkan. Akan tetapi menilik gaya pakaiannya,
hampir dapat dipastikan bahwa sosok prajurit ini adalah sosok
prajurit Mataram Islam. Sekalipun demikian, kemungkinan besar
pakaian prajurit Mataram semacam ini mulai dikenakan sejak abad-abad
16-19. Hal ini didasarkan pada sumber dari gambar atau foto ini yang
terdapat dalam buku yang diacu (lihat bagian akhir halaman ini).
Jika dicermati pakaian yang
dikenakan prajurit ini tampak relatif cukup mewah. Melihat hal yang
demikian sangat dimungkinkan sosok ini merupakan prajurit dengan
pangkat yang lumayan tinggi juga. Tidak mustahil juga jika ia adalah
seorang komandan pasukan dalam unit tertentu. Kemewahan pakaian dari
prajurit ini bisa dilihat dari rompi luar yang dikenakannya di
samping hem atau kemeja (warna putih). Rompi ini kemungkinan besar
berhiaskan sulaman benang warna emas di bagian depan (sepanjang
tempat kancing). Baju lengan panjang warna gelap yang mungkin
dikenakan di luar kemeja dan di dalam rompi kemungkinan bagian dari
potongan baju berbentuk rompi. Mungkin juga merupakan pakaian
tersendiri.
Unsur kemewahan lain mungkin
bisa dilihat dari sabuk yang dikenakannya yang mungkin merupakan
sabuk berbahan kain linen dan bermatakan sabuk logam jenis perak,
emas, kuningan, atau jenis logam lain. Kain yang dikenakannya hingga
sedikit di bawah lutut mungkin bukan merupakan unsur kemewahan,
namun merupakan kelaziman. Hanya saja celana panjang hingga mata
kaki mungkin agak terasa janggal sebagai pakaian prajurit Mataram
zaman itu yang umumnya mengenakan celana panjang yang panjangnya
hanya sampai bagian lutut saja.
Jika dicermati prajurit ini
tampak tidak mengenakan sepatu atau alas kaki. Pada galibnya
orang-orang Jawa pada masa itu (abad 16-18) dapat dikatakan sebagai
memang tidak bersepatu kecuali orang tersebut berkedudukan sebagai
petinggi kerajaan (bupati, pangeran, dan seterusnya) atau juga kaum
bangsawan.
Senjata yang dikenakan (dibawa)
oleh prajurit ini setidaknya ada empat bilah. Satu bilah tombak
panjang, satu bilah pedang di tangan kiri, dan dua bilah keris yang
diselipkan di bagian pinggang kiri dan kanan. Posisi keris pun
menunjukkan bagian hulu atau tangkai keris berada di bagian depan
perut sehingga mengesankan bahwa keris tersebut dalam posisi siap
dihunus atau dicabut.
Penutup kepala dari prajurit
ini hanya berupa selembat kain sebagai ikat kepala. Tidak ada
penutup sejenis topi atau yang lainnya. Penutup kepala berupa
selembat kain yang diikatkan dan sering disebut �iket�. Iket
tampaknya menjadi penutup kepala yang lazim dikenakan orang Jawa
masa itu. Jadi, iket tersebut mungkin bukan menjadi bagian dari
unsur kemewahan pakaian yang dikenakannya.
Prajurit-prajurit seperti
itulah yang menjadi salah satu tulang punggung pasukan Mataram dalam
menaklukkan berbagai wilayah serta menjaga keamanan keluarga raja,
istana, dan negaranya. Bahkan prajurit semacam itu mungkin juga yang
dijadikan andalan oleh Mataram untuk menyerbu Batavia (1628 dan
1629). Bisa dibayangkan bagaimana tingkat kesulitan atau tantangan
medan yang berat yang harus dilalui prajurit-prajurit tersebut
mengingat zaman-zaman itu akses jalan dan trans[ortasi serta
jaringan informasi masih sedemikian minim dan sederhananya. Dalam
kondisi tanpa alas kaki, tanpa pelindung kepala yang memadai, dan
dengan pakaian yang memang tidak praktis akan membuat para prajurit
Mataram tersebut bertambah kesulitannya ketika harus bertempur di
medan perang. Belum lagi logistik yang tidak memadai membuat
prajurit tersebut akan menemui kendala berganda untuk menunaikan
pekerjaan dan kewajibannya. Sekalipun demikian, mereka dituntut
militansinya untuk membela negara dan rajanya.
Sumber: Haks, Leo dan
Guus Marsi, 1995, Lexicon of Foreign Artists who Visualized
Indonesia (1600-1950), Singapura: Archipelago Press via Rachmat
Ruchiat, 2012, Asal-Usul Nama di Jakarta, Jakarta: Masup,
halaman114. |