Djogdja Tempo
Doeloe
Profil Pangeran Diponegoro Dalam Busana yang Berbeda, 1807
Sampai sejauh ini, foto atau
gambar tentang Pangeran Diponegoro hampir selalu dipahami sebagai
tokoh yang selalu mengenakan jubah putih, surban putih, berselempang,
dan menyelipkan keris di bagian dadanya. Tambahan lagi, sosok
pahlawan ini juga sering digambarkan tengah menunggang kuda dengan
tangan menggenggam keris yang teracung ke atas-depan. Jika pun tidak
demikian, sering juga digambarkan tengah menunggang kuda dan
mengacungkan jari telunjuknya ke arah depan sebagai bentuk penegasan
bahwa figur tersebut tengah memberikan aba-aba atau komando
penyerangan terhadap musuh-musuhnya.
Figur atau visualisasi
Pangeran Diponegoro dengan pakaian jubah serba putih dan surban
putihnya mungkin telah menjadi ikon atau tampilan ideal yang sulit
diubah dalam memori banyak orang. Meskipun demikian, Pangeran
Diponegoro adalah bangsawan Jawa. Ia adalah seorang pangeran dari
Keraton Kasultanan Yogyakarta. Dengan demikian, sudah dapat
dipastikan bahwa ia pun paham atau mengerti dan bahkan juga sedikit
maupun banyak mengalami atau melakukan adat atau tradisi Jawa.
Setidaknya ia wajib menghadap ke keraton setiap acara atau Upacara
Grebeg.
Pakaian baju koko putih,
jubah putih, dan surban mungkin memang menjadi semacam pakaian
kegemaran atau bahkan pakaian wajib Pangeran Diponegoro saat usianya
dewasa. Pakaian tersebut mungkin juga menjadi cerminan akan niat
atau kehendak dirinya untuk menjadi Ratu Adil sekaligus panatagama.
Pakaian tersebut memang pada akhirnya menjadi pakaian khas yang
menonjolkan identitasnya sebagai pangeran muslim yang taat.
Berikut ini ditampilkan
gambar sketsa tentang Pangeran Diponegoro ketika ia masih muda (mungkin
masih belasan tahun). Gambar sketsa ini dibuat menggunakan arang (maklum
saat itu alat tulis/gambar memang langka dan mahal). Sketsa ini
mungkin dibuat oleh seorang seniman Keraton Yogya saat pernikahan
Pangeran Diponegoro dengan istri sahnya yang pertama, yakni putri
Bupati Yogya untuk wilayah Panolan, Jawa Timur yang bernama Raden
Tumenggung Notowijoyo III yang menjabat bupati sejak 1803-1811.
Pernikahan itu sendiri dilaksanakan 25 Februari 1807. Inilah
satu-satunya sketsa yang menampilkan Diponegoro dalam busana keraton
Jawa berupa surjan dan blangkon.
Demikian keterangan yang
diberikan dalam Risalah Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir
Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 pada halaman 16 yang ditulis oleh
Peter Carey, seorang sejarawan Inggris keturunan Irlandia yang
sangat berminat dengan sejarah Asia Tenggara. Risalah ini
diterbitkan bersamaan dengan peluncuran bukunya Kuasa Ramalan:
Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 pada
tanggal 8 Maret 2012 di Pendapa Monumen Museum Sasana Wiratama
Pangeran Diponegoro, Tegalrejo, Yogyakarta. Buku yang terdiri atas
tiga jilid tersebut diterbitkan oleh Penerbit KPG bekerja sama
dengan KITLV-Jakarta dan Arsari Group. Foto tentang sketsa itu
sendiri dibuat berdasarkan ijin dari almarhumah Ibu Dr. Sahir (piut
Diponegoro) Jl. Nyoman Oka 7, Kotabaru, Yogyakarta pada bulan
September 1977.
Dalam sketsa tersebut
kelihatan penampilan Pangeran Diponegoro yang �berbeda� dari
gambaran umum yang selama ini telah mengendap dalam memori setiap
orang. Pakaian tradisional Jawa yang dikenakan Pangeran Diponegoro
pada sisi ini mampu memonjolkan sosoknya sebagai orang Jawa atau
priyayi Jawa. Amati dan bandingkan dengan gambaran sosok Pangeran
Diponegoro yang selama ini Anda kenal.
a.sartono
sumber: Peter Carey,
2012, Risalah Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
di Jawa, 1785-1855, Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV-Jakarta,
Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Aseasuk, Fadli Zon Library, dan
Gramedia Printing Group. |