Kuliner
PECEL MADIUN BERKAT YANG LEZAT
Setiap
pagi, sekitar jam 6 sampai jam 9, jika melewati depan Malioboro Mall
senantiasa terpampang pemandangan serupa, gerobak-gerobak penjaja
makanan dan orang-orang yang duduk bersantap di sekitarnya. Salah
satunya, sejak tahun 2000, beranjang gerobak berwarna hijau milik
pak Sunubronto (57 tahun), yang nyaris tak pernah sepi. Di kaca
gerobaknya tertulis Pecel Madiun Berkat. Orang-orang yang berdiri
memesan dan mengantri pesanan, maupun orang-orang yang duduk di
bangku plastik biru sembari memegang pincuk daun pisang, menjadi
pemandangan yang jamak.
Dengan lincah, tangan Pak
Sunu dan asistennya bergantian menjumput daun bayam, tempe dan peyek.
Dengan ramah dan sumringah Pak Sunu sesekali menerima uang
pembayaran dan memberikan uang kembalian kepada pembelinya.
Asistennya berulang kali mengaduk sambel pecel yang dicampur air
dalam sebuah baskom, durasi antaranya hanya terhitung sebentar.
Sambel pecel itu seakan tidak betah berdiam lama di dalam baskom,
dituang ke
pincuk-pincuk
daun pisang yang berderet antri.Baskom yang segera saja kosong diisi
sambel pecel lagi untuk diaduk dan diencerkan.
Saat itu Minggu pagi.
Menurut Pak Sunu, jumlah pembeli pada hari Minggu biasanya berlipat
dibanding hari lain, sekitar satu setengah kalinya. Jika pada hari
biasa pecelnya habis sekitar 80 porsi, pada hari Minggu habis
sekitar 120 porsi. Sebagaimana ditunjukkan oleh cepatnya pergantian
sambel pecel di dalam baskom, begitu pula Pak Sunu hanya butuh waktu
sekitar tiga jam untuk menghabiskan dagangannya. Jatah berjualannya
memang hanya sampai jam 9 karena setelah itu lahan berdagangnya
digunakan sebagai tempat parkir sepeda motor.
Usai beres-beres, Pak Sunu
mendorong gerobaknya ke arah barat, melewati Jalan Sosrowijayan
menuju rumahnya di Jalan Indrprasto TR III No 243, di sisi barat
Jalan HOS Cokroaminoto. Perjalanan sekitar � jam ini jelas lebih
lama dibandingkan sebelum ia dan keluarganya
pindah
rumah pada tahun 2010. Sebelumnya keluarga Pak Sunu tinggal di Jalan
Sosrokusuman, jalan kecil di sebelah selatan Malioboro Mall. Agaknya
yang tidak berubah adalah setiap harinya mereka harus bangun jam 3
pagi untuk merebus daun bayam dan tauge serta menyiapkan bahan-bahan
lainnya.
Di rumah mereka, warung
pecel Berkat buka sejak jam 9 pagi hingga jam 4 sore, disiapkan Bu
Yuli, istri Pak Sunu. Agak sulit juga mencari jalan rumahnya karena
nama jalannya tidak terpampang jelas. Patokannya, jika dari arah
selatan, melewati pasar Klithikan dan halte busway, lantas sebelum
ayam goreng Cokro belok ke barat. Ukuran warungnya kecil sehingga
tidak seberapa nyaman jika datang beramai-ramai. Pembeli yang datang
kesana adalah para pelanggannya yang domisilinya lebih dekat ke sana
ketimbang ke Malioboro.
Tidak heran jika pecel Pak
Sunu dan Bu Yuli ini punya banyak pelanggan. Rasa
pecelnya
memang lezat. Daun bayam, tauge dan sambal pecelnya disajikan dalam
komposisi yang seimbang dan menyatu sehingga rasanya pas di lidah.
Yang utama tentu saja sambel pecelnya yang gurih dan lembut, dengan
rasa manis dan asin yang tidak berlebihan. Rasanya stabil, beberapa
kali saya mampir rasanya tetap sama.
Kombinasi pengolahnya, Bu
Yuli yang berasal dari Madiun dan Pak Sunu yang berasal dari Yogya
ikut menjadikan Pecel Madiun tampil secara moderat. Awalnya pecel
mereka benar-benar disajikan ala Jawa Timuran. Yakni dengan kering
tempe, irisan timun, daun kemangi, krupuk gendar, dan daging empal.
Namun segala pernak-pernik
ini rupanya kurang diminati pembeli di Yogya. Akhirnya mereka
menyajikan pecel beserta tempe dan peyek, yang lebih banyak disukai
pembelinya. Disediakan pula telur dadar dan sate ayam. Telur
dadarnya laris-manis, biasanya cepat habis sebelum tutup. Rasa sate
ayamnya yang manis ala Yogya juga wajib dicoba, cocok menemani
gurihnya pecel.
Berbeda dengan pecel di
Yogya, pecel Berkat sama sekali tidak menggunakan kencur. Sedangkan
rasa pedas pecelnya kurang terasa dibanding pecel Madiun di Jawa
Timur tapi lebih terasa pedas dibanding pecel di Yogya. Jika
pembelinya memesan rasa yang lebih
pedas,
barulah sambel pecelnya ditambahkan lebih banyak cabe. Biasanya
pesanan semacam itu datang dari pelanggannya yang tinggal di
Jakarta, Kalimantan dan Sumatera.
Untuk peningkatan rasa,
mereka sangat terbuka terhadap kritik dan masukan. Menurut Bu Yuli,
komentator setianya adalah pemilik toko plastik Liman dan pemilik
toko batik Surya di Malioboro yang juga berasal dari Madiun.
Rasa sambel pecel buatan
mereka yang maknyusss diperoleh tidak dalam waktu singkat. Untuk
menemukan takaran dan rasa yang pas itu, mereka mencoba terus selama
lima tahun hingga akhirnya mendapatkan formula standardnya. Menurut
Pak Sunu, yang paling sulit adalah takaran garam dan gula untuk
mendapatkan rasa asin dan manis yang pas. Bu Yuli menambahkan satu
elemen formula lagi, yakni buah jeruk purut, bukan
daunnya,
sehingga tampilannya lebih menarik.
Selain itu kacang tanah
sebagai bahan baku utamanya digoreng sangrai tanpa minyak. Berbeda
dengan umumnya sambel pecel lain, terutama buatan Kediri atau Blitar
yang memakai minyak. Hasilnya, bukan saja rasa kacang sambel pecel
Berkat menjadi lebih menonjol tapi juga jadinya lebih awet tanpa
musti ditambah bahan pengawet. Berdasarkan kesaksian para pembelinya,
sambel pecel ini tahan selama satu bulan jika tidak disimpan di
dalam kulkas. Jika ditaruh di dalam kulkas, awetnya sekitar 6 bulan
sampai satu tahun. Sambel pecel Berkat juga dijual dalam bentuk
kemasan seharga Rp 60.000 per kg.
Dalam mengembangkan usahanya
Pak Sunu dan Bu Yuli juga dibantu oleh putra mereka, Lukas (28 tahun)
yang sedang menyelesaikan skripsinya di jurusan Teknologi Informasi
di Amikom. Sedangkan adik Bu Yuli, yang ikut membantu pada hari
Minggu, membuka cabang di daerah Pingit. Kini nama Pecel Madiun
Berkat juga bisa ditemukan di Facebook.
Harga seporsi pecel beserta
nasi, tempe dan peyek Rp 5.000, yang cukup mengenyangkan perut. Bisa
ditambah telur dadar dan sate ayam, yang masing-masing dihargai Rp
2.000.
Di tepi jalan Malioboro,
dalam udara pagi Yogya, menikmati pecel yang nikmat dan lezat,
hmmm....
barata |