Djogdja Tempo
Doeloe
PUTRI JAWA DI AWAL ABAD 19
Berikut
ini adalah profil putri (bisa telah menikah maupun belum) bangsawan
Jawa di masa lalu. Kemungkinan besar putri dengan profil seperti ini
merupakan anak atau keturunan raja. Menilik pakaian dan asesoris
yang dikenakannya yang kelihatan mewah, serta meja di sampingnya
yang juga kelihatan mewah, maka bisa ditebak bahwa status sosialnya
memang tinggi. Gambar atau foto ini dimuat dalam sebuah buku
berbahasa Belanda karya L. Th. Mayer. Buku tersebut berjudul Een
Blik in Het Javaansche Volksleven. Buku tersebut diterbitkan di
Leiden, Belanda, tahun 1897 oleh Boekhandel en Drukkerij.
Kelihatan bahwa pakaian yang
dikenakan oleh profil putri berbeda jauh dengan pakaian yang
dikenakan oleh masyarakat (wanita) pada masa itu. Pada masa itu
(sekurang-kurangnya tahun 1897 ke belakang) merupakan masa yang
masih cukup sulit orang untuk menumpuk kekayaan. Masa yang saih
sangat sulit dalam segalanya. Baik soal pangan, informasi,
perhubungan, mobilitas, dan sebagainya. Masyarakat secara umum masih
berkonsentrasi soal pemenuhan kebutuhan pangan. Sementara soal
pemukiman dan lain-lain, lebih-lebih pakaian dan asesori menjadi
kebutuhan yang nomor sekian atau bahkan masih hanya sebatas angan
atau impian.
Hanya orang-orang besar dan
penguasa (semacam raja, bupati, atau adipati) dan jejaring jabatan
di bawahnya yang bisa dikatakan boleh punya akses terhadap
jalur-jalur pencapaian pendapatan atau kekayaan secara longgar dan
bahkan berlebih dibandingkan masyarakat awam. Tidak aneh jika
diperbandingkan akan kelihatan begitu kontras atau sangat menyolok
perbedaan tingkat kemewahan yang ada komunitas mereka dengan
masyarakat awam.
Pakaian yang dikenakan putri
ini mungkin juga tidak diperkenankan dikenakan oleh sembarang orang.
Artinya, hanya golongan tertentu saja yang diperbolehkan. Jika ada
awam yang mampu membeli dan mengenakannya kemungkinan besar dianggap
sebagai sebuah pemberontakan atau �mbalela�. Pada sisi ini
masyarakat awam tidak diperkenankan �ngembari� menyamai apa-apa yang
dimiliki atau dikenakan oleh mayarakat dari kalangan atas. Jika ia
berani ngembari, maka bisa jadi dianggap �mbalela�.
Jamang (hiasan di kening)
yang dikenakan putri ini juga menandaskan bahwa sosoknya menduduki
kedudukan sosial yang tinggi karena jamang (yang mungkin terbuat
dari perak atau emas) juga hampir tidak mungkin dimiliki oleh awam.
Sekalipun awam mampu membeli kemungkinan juga dilarang untuk
dikenakan. Demikian halnya dengan rentengan kancing-kancing logam
(emas), subang besar, dan sebagainya juga merupakan asesori yang
umum dikenakan golongan kaum bangsawan di masa itu.
Tampak dalam gambar bahwa
tradisi mengenakan alas kaki belum begitu umum di Jawa pada masa
itu. Nyeker adalah pemandangan yang biasa. Lantai rumah umumnya juga
masih tanah biasa yang dipadatkan. Agar lantai tanah kelihatan
bersih dan sopan (terutama jika mengundang tamu), lantai tersebut
dilapisi dengan kepang �anyaman bambu� yang di atasnya dilapisi
tikar mendong atau pandan.
a.sartono
Sumber: L. Th. Mayer,
1897, Een Blik in Het Javaansche Volksleven, Leiden: Boekhandel en
Drukkerij. |