Djogdja Tempo
Doeloe
PRAJURIT JAWA TAHUN 1897
Foto
berikut ini adalah foto prajurit Jawa dengan pakaian perangnya. Foto
dibuat pada kisaran tahun 1897. Mungkin profil prajurit Jawa yang
ditampilkan oleh foto ini mewakili gambaran secara umum tentang
prajurit Jawa masa lalu. Setidaknya mungkin, profil prajurit Jawa di
era Perang Diponegoro (1825-1830) mengingat buku yang memuat foto
ini dicetak para tahun 1897.
Mungkin juga profil prajurit
Jawa dengan pakaian tradisional Jawa seperti itu juga merupakan
wakil dari gambaran umum tentang prajurit-prajurit kerajaan-kerajaan
di Jawa. Mungkin juga merupakan gambaran umum tentang profil
prajurit Jawa yang tergabung dalam laskar-laskar atau
kesatuan-kesatuan dengan satu-dua pimpinan di luar kekuasaan
kerajaan.
Barangkali juga tampilan
profil prajurit yang demikian bagi kita tampak aneh. Aneh karena
tanpa baju, tanpa sepatu pelindung kaki, prajurit ini juga
mengenakan kain di luar celana sebatas lututnya. Tampak Kain
tersebut bermotif batik dan diwiru (dilipat sisa kainnya) di bagian
depan. Wiron tampak dibuat besar tidak melipit kecil seperti wiron
kain dalam pakaian resmi tradisional Jawa yang kita kenal sekarang.
Pakaian prajurit Jawa ini
diperlengkapi dengan sabuk (ikat pinggang) besar yang tampak indah
dengan timang (kepala sabuk) logam yang mungkin saja terbuat dari
emas, perak, atau kuningan. Demikian pun kancing dari ujung sabuk
itu juga terbuat dari logam yang sejenis dengan kepala sabuknya.
Prajurit Jawa ini juga
mengenakan perhiasan berupa gelang di tangan kanan dan kirinya.
Tampak bahwa gelang tersebut berdiameter relatif besar. Mungkin
diameter logam yang dikenakannya sebagai gelang itu sebesar diameter
jari telunjuk pria dewasa. Pada sisi-sisi ini jelas kelihatan bahwa
orang Jawa (dalam hal ini prajurit Jawa) cukup atau bangkan sangat
memperhatikan penampilan dirinya. Tidak mustahil jika orang Belanda
bilang bahwa bangsa Jawa secara umum sebenarnya menyukai penampilan
diri yang kelihatan mewah dan elok.
Senjata tombak yang dipegang
oleh prajurit ini mungkin juga kurang lazim. Pasalnya mata tombaknya
tidak lurus saja, namun berluk. Jika tidak salah hitung mata tombak
tersebut berluk 3. Bagi orang Jawa soal senjata yang digunakan dalam
medan perang barangkali bukan soal kecanggihan atau efektivitas daya
bunuhnya yang dipegang secara teguh, namun juga soal keyakinan.
Masalahnya senjata yang dibawa di dalam medan perang sering dianggap
sebagai sipat kandel atau benteng diri yang diandalkan. Jadi, bukan
semata-mata daya bunuhnya yang hebat namun kemenyatuan diri orang
yang bersangkutan dengan senjata itu. Sekalipun senjata tersebut
berdaya bunuh tinggi namun jika orang yang membawanya merasa tidak
yakin, ragu-ragu, bahkan takut hal itu akan kehilangan
efektivitasnya.
Tidak mengherankan jika
senjata-senjata perang yang digunakan orang Jawa sering berkait erat
dengan apa yang dinamakan senjata pusaka-sipat kandel yang semuanya
itu sangat mungkin dikaitkan dengan perhitungan weton orang yang
bersangkutan, pamor senjata, dapur senjata, dan juga tentang gaya
luk atau lurusnya senjata serta sifat atau angsar/aura/daya vibbrasi
dari pusaka yang dibawanya. Barangkali urusan perang dan senjata
bagi orang Jawa masa lalu (bahkan mungkin saat ini) bisa menjadi
persoalan yang tidak melulu berbicara soal teknis, namun juga
bersangkutan dengan hal-hal yang bersifat magis.
Sumber: L. Th. Mayer,
1897, Een Blik in het Javaansche Volksleven II, Leiden: Boekhandel
en Drukkerij voorheen E.J. Brill. |