Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan

“Wijaya Product, Pewangi Laundry 12.500/L, Diterjen Cair 6.000/L”. Iklan ini, yang juga mencantumka nomor telepon, terbaca jelas dari jalan raya Sultan Agung. Tempatnya bukan di billboard tapi di papan banner film bioskop Permata. Di sisi kata-kata promosi ini tertulis “Permata, Karcis Rata2 6.000, 10.30, 19.00, 21.00”. Di papan lainnya hanya terpampang satu banner film, Monsoon, film erotisnya Jag Mundhra. Iklan pewangi tadi masih tampak pada 15 April 2010. Iklan yang tak lazim ini seakan memperlihatkan kondisi finansial bioskop Permata yang memprihatinkan. Pada 1 Agustus 2010, bioskop berkapasitas 350 kursi ini resmi tutup.

Di tempat lain, sekitar awal tahun 2011, pada papan banner film bioskop Indra, di bawah tulisan Hari Ini, terpampang kain kuning bertuliskan NV JBBM. Ini bukan judul film tapi singkatan dari Javasche Bioscoop en Bouw Maatschappij. Kalau Anda berkunjung ke sana sekarang, hanya telihat sisa sobekan kain di papan bannernya. Sedangkan di pintu masuknya ditempel kertas pengumuman bahwa gedung bioskop Indra milik ahli waris NV JBBM. Ditempel pula logo NV Perfebi (Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop Indonesia) Yogyakarta.

Bioskop Indra yang terletak di Jalan Ahmad Yani di seberang barat Pasar Beringharjo kini sedang menjadi sengketa antara ahli waris NV JBBM dan Pemerintah Provinsi DIY. Pemerintah bermaksud menjadikan tanah bioskop Indra sebagai lahan parkir untuk mengatasi masalah parkir kendaraan di Malioboro. Saat ini pun halaman bioskop Indra telah menjadi tempat parkir sejumlah mobil dan motor.

Bioskop Permata dan Indra merupakan sisa-sisa terakhir bioskop tua, bahkan bersejarah, di Yogyakarta. Sejumlah kepustakaan, misal penelitian Antariksa, menyebutkan bahwa Permata didirikan pada 1946 dengan nama bioskop Luxor, yang pada masanya merupakan bioskop mewah. Indra malah lebih tua lagi bahkan diduga termasuk bioskop yang paling awal berdiri. Bioskop Indra berdiri pada 1916 dengan nama Al Hambra, lantas berubah menjadi Indonesia Raya, yang lantas disingkat Indra. Pada jamannya Al Hambra adalah bioskop kalangan kelas sosial atas, baik bangsa Belanda, Tionghoa maupun Jawa. Kedua bioskop ini, menurut Antariksa, merupakan milik Nederlands Indische Bioscoop Exploitatie Maatschappij, cikal bakal NV Perfebi.

Terkesan ironis, pada masa-masa sulitnya sebelum akhirnya tutup, Permata dan Indra memutar film-film yang nyaris seragam, hanya seputar horor dan erotis. Film Monsoon tadi contohnya. Itu pun hanya menjaring sedikit penonton.

Bioskop-bioskop tua lainnya sudah terlebih dulu tutup. Bioskop Mataram, bioskop non-21 yang terakhir tutup sebelum Permata dan Indra, kini hanya menyisakan pilar tembok. Reruntuhan bioskop ini bisa dilihat di belakang ruko di Jalan Sutomo, sebelah selatan jalan layang Lempuyangan. Bioskop yang tutup pada September 2007 ini sempat menjadi bioskop bergengsi dengan kapasitas 650 kursi.

Bioskop lainnya yang perlu dicatat adalah Rahayu dan Soboharsono. Fisik kedua bioskop ini sekarang masih bisa disaksikan karena masih mencerminkan --setidaknya masih kuat jejaknya untuk dibayangkan-- bentuk aslinya di balik polesan barunya. Berbeda misalnya dengan fisik bioskop Presiden di Jalan Sudirman yang telah berubah total sebagai Hotel Novotel.

Bioskop Rahayu yang berlokasi di Jalan Solo kini menjadi toko tekstil, sedangkan Soboharsono yang terletak di pojok timur alun-alun utara telah berubah fungsi menjadi Jogja Gallery dan Royal Garden Restaurant. Keduanya termasuk bioskop besar pada jamannya.

Bioskop pernah menjadi satu fenomena di Yogya. Total jumlah bioskop di Yogya, menurut Harian Kompas, mencapai 19 buah. Misalnya, antara lain, bioskop Ratih di Jalan Mangkubumi, Mitra di Jalan Ibu Ruswo, Arjuna di Pingit, Jogja dan Senopati di shopping center, sampai Royal di pojok Jalan Demangan. Kini hanya ada dua bioskop di Yogya yang aktif namun dalam kategori kelas twenty one, yakni bioskop 21 di Ambarukmo Plaza dan Empire XXI di Jalan Solo.

Jika mengenang periode 1970-80an sebagai jaman keemasan bioskop di Yogya pemutaran film bisa 3-4 kali sehari. Dulu dikenal istilah matinee show untuk film yang diputar sekitar pukul 10.00, serta extrashow untuk jam tayang tambahan sekitar pukul 14.00.

Masa keemasan bioskop-bioskop ini menyurut sejak 1990an setelah stasiun televisi swasta rajin menayangkan film-film layar lebar, serta merebaknya VCD dan DVD bajakan yang dijual murah meriah, terutama di lapak-lapak di Jalan Mataram. Ditambah, sebagai faktor pelengkap, adanya tempat persewaan VCD dan DVD original yang harga sewanya lebih murah daripada tiket bioskop.

Kini bioskop Permata masih berdiri kokoh, sekaligus mengesankan ketuaan dan kekumuhannya. Sebagian kaca jendelanya pecah dan ditutup tripleks. Mural keren karya Aaron Noble, seniman asal San Fransisco, yang menghiasi dinding bioskop ini semakin pudar warnanya. Namun Permata termasuk ikon budaya di Yogya. Semoga keberadaan dan kekhasan bangunan ini terus dipertahankan meski mungkin akhirnya berubah fungsi.

barata

Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan

Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan

Mengenalkan Batik Di Taman




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta